Kearifan
lokal yang mengakar dalam suatu kebudayaan dapat dilacak kembali pada tinggalan
budaya masa lalu kebudayaan tersebut. Aneka bentuk tinggalan budaya masa lalu
tersebut salah satunya berbentuk naskah dan ilmu pengetahuan memungkinkan
adanya kajian ilmiah terhadap naskah tersebut yakni dengan menggunakan ilmu
filologi.
Menurut
Baried, dkk (1994:2) kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang
berupa gabungan kata dari philos yang berarti teman dan logos yang berati
pembicaraan atau ilmu. Dalam perkembangannya, philologia kemudian diartikan
sebagai senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi seperti karya-karya
sastra. Kata filologi, sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut keahlian
yang diperlukan dalam mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari beratus
tahun yang lampau, dicetuskan pertama kali pada sekitar pada abad ke-3 SM oleh
Eratosthenes, salah seorang ahli dari Iskandariyah.
Filologi di Indonesia, awalnya
dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, bertujuan untuk mengungkap
informasi masa lampau yang terkandung dalam bahan tertulis peninggalan masa
lalu dengan harapan adanya nilai-nilai atau hasil budaya masa lampau yang
diperlukan dalam kehidupan masa kini (Baried dkk, 1994: 9).
Seperti halnya bidang ilmu
pengetahuan yang lain, filologi pun memiliki sasaran atau obyek kerja.
Manyambeang (1989: 18) mengatakan bahwa obyek filologi adalah naskah atau teks
dengan menggunakan media bahasa sebagai sarana penelitian. Lebih lanjut lagi
dikatakan bahwa, naskah dan teks memiliki pengertian yang berbeda. Naskah
(‘handschrijft’ Belanda, ‘manuscript’ Inggris) merupakan semua bahan tulisan
sebagai hasil kebudayaan masa lalu dan dengan demikian bersifat konkrit dan
dapat dipegang atau disentuh, sedangkan teks adalah isi naskah itu sendiri.
Kajian ilmu yang mendalami segala sesuatu tentang teks, seperti cara
penurunan/penyalinan teks, pemahaman atau penafsiran serta penambahan atau
pengurangan kata atau kalimatnya disebut tekstologi; dan pembahasan seputar
seluk beluk naskah, misalnya bahan, alat tulis, umur, tempat penulisan maupun
perkiraan penulis naskah, menggunakan kajian ilmu kodikologi (1989: 19-20).
Walau
sama-sama merupakan hasil tulisan tangan, terdapat perbedaan yang signifikan
antara prasasti dan naskah. Baried, dkk (1994: 55-56) menunjukkan perbedaannya
sebagai berikut:
1. Naskah umumnya berupa buku atau
menggunakan bahan tulisan tangan dari kulit kayu, dluwang, dll. Prasasti
menggunakan media alas dari batu, logam, marmer, dll.
2. Naskah pada umumnya panjang karena
memuat cerita yang lengkap sedang prasasti hanya berisi hal-hal penting saja,
misalnya pemberitahuan resmi pendirian sebuah bangunan suci.
3. Naskah biasanya bersifat anonim dan
tidak berangka tahun sementara dalam prasasti sering tercantum nama penulis dan
tahun pembuatannya.
4. Naskah mengalami proses penyalinan
dan karenanya berjumlah banyak. Di lain pihak, prasasti tidak demikian.
5. Naskah yang paling tua adalah naskah
Tjandra-karana yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (kira-kira abad ke-8) sedangkan
prasasti yang paling tua diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-4 (prasasti
Kutai).
REFERENSI
Baried,
Siti Baroroh, dkk, 1994, Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra
UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar