1/05/2013

BISSU



“Bissu”, Komunitas Penjaga Tradisi Bugis Kuno
Dalam berbagai perhelatan adat, budaya, maupun tradisi Bugis kuno di Sulawesi Selatan (Sulsel), tak lengkap rasanya jika tidak menghadirkan “bissu” yang memiliki komunitas tersendiri. Pasalnya, bissu atau pendeta Bugis kuno ini akan berperan dalam menentukan hari baik dan hari buruk, mengatur prosesi adat, menyiapkan peralatan upacara, dan berbagai ritual lainnya yang lekat dengan masyarakat.

Komunitas bissu yang masih bertahan hingga saat ini, dalam lektur lama (epos La Galigo), dianggap sebagai manusia suci, keturunan para dewa dan dalam stuktur kerajaan di Sulsel, bissu merupakan penasihat spiritual dan rohani para raja.

Begitu pentingnya peranan dan figur bissu bagi masyarakat ini, sehingga dalam upacara ritual yang mereka laksanakan bissu dijadikan sebagai pemimpinnya. Di antara bentuk upacara yang kini masih tersisa adalah Temmu Taung, Mapeca Sure dan Masongka Bala; yakni upacara memohon keselamatan bagi seluruh warga dan para pemimpin kerajaan.

Ketiga upacara ritual yang sangat penting dan dihormati sejak zaman Bugis kuno hingga kini itu, sempat mengalami tekanan dan cercaan setelah Islam berkembang di Sulsel, karena dinilai sebagai bentuk keyakinan yang menjurus pada bid’ah. Namun, dengan filosofi yang dianut para bissu dengan pimpinannya saat ini yakni Zaidi Puang Matoa yang merupakan generasi kelima, mereka tetap berupaya mempertahankan dan melestarikan komunitasnya untuk menjaga tradisi Bugis kuno yang masih tersisa.

“Para bissu sudah ada seiring dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Bugis kono, kami hanya melanjutkan tradisi turun-temurun ini,” ungkap Zaidi dengan suara yang lembut.
Dalam persepsi masyarakat, jelas Zaidi, terkadang ada yang menyamakan komunitas bissu dengan waria. Padahal, sesungguhnya para bissu dari segi penampilan memang mirip waria (agak gemulai), namun tidak menyukai dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan sejenisnya.
“Kami pun tetap berpakaian layaknya laki-laki, namun kami tidak menikah untuk menjaga kesucian bissu,” kata Zaidi, pria kelahiran tahun 1958 yang kini memimpin komunitas bissu yang jumlah anggotanya tinggal 20 orang itu.

Untuk menjadi bissu, selain harus melalui proses keputusan komunitas, juga harus menjalani prosesi pelantikan yang cukup panjang. Seorang calon bissu setidaknya harus tujuh hari menjalani prosesi ritual, termasuk dikafani seperti mayat serta melepaskan semua unsur pengaruh duniawinya.

Setelah dinobatkan menjadi bissu oleh pimpinan bissu, secara otomatis bissu baru tersebut sudah dapat memimpin acara ritual dan tradisi Bugis. Bahkan, memiliki kekuatan “supranatural” pada saat pagelaran tradisi budaya, misalnya menari tarian “bissu” yang dikenal dengan nama “mabbissu” atau “maggiri”. Pada saat “maggiri” ini biasanya tampil enam bissu dipimpin Zaidi Puang Matoa, dengan menggunakan keris terhunus menusuk leher dan dadanya, namun tidak terluka sedikit pun.
Campuran Budaya Tionghoa
Dari sekian tradisi budaya yang biasanya dipimpin bissu Zaidi, acara “mattemu taung” atau upacara penghormatan pada leluhur digelar bersama Liem Keng Boe alias Haji Ismail Daeng Nai yang juga dikenal sebagai Baba Sanro.

Upacara yang selalu menghadirkan bissu pada setiap bulan syafar dalam penanggalan hijriyah ini, sejak 40 tahun yang lalu dilakukan oleh keluarga besar Baba Sanro yang merupakan keturunan Tionghoa. Kolaborasi tradisi komunitas China dan Bugis telah tertuang pada epos La Galigo, karya sastra Bugis Kuno yang dikenal terpanjang di dunia, mengalahkan karya sastra Mahabaratha di India.

Pada saat upacara berlangsung, baba sanro turut berdandan bersama beberapa bissu utama dari Segeri – perkampungan bissu – termasuk bissu Zaidi yang disebut sebagai puang matoa bissu atau pimpinan bissu dari Segeri.

Seiring tabuhan gendang yang berirama khas, pelan-pelan para bissu bersama baba sanro berjalan ke depan ruangan tempat “arrajangnge” yang telah disiapkan. “Arrajangnge” ini adalah benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tempat ruh leluhur beristirahat.

Di depan “arrajangnge” itu telah disiapkan berbagai sesaji dari kue tradisional, buah, ayam hingga kepala kerbau dan sapi yang merupakan persembahan bagi leluhur.
Saat upacara dimulai, puluhan kerabat Baba Sanro sudah datang untuk menyaksikan upacara. Sebagian lainnya adalah masyarakat setempat yang datang setiap tahunnya sebagai bagian dari acara keluarga besar Baba Sanro, sekaligus datang untuk mengharap berkah.

Setelah membakar dupa dan membaca doa dengan khusyuk, Baba Sanro bersama para bissu mulai menarikan tarian para bissu atau disebut “mabbissu” dengan berputar di depan sesaji yang ditudungi kain khusus.

Irama gendang kian cepat dan satu persatu bissu dan Baba Sanro mulai menghunus keris keramat yang semula terpasang di pinggang, kemudian menusukkannya ke tangan, leher dan perut mereka tanpa terluka sedikit pun. Prosesi menusukkan senjata tajam yang selalu dilakukan bissu dalam upacara ini disebut “maggiri”. Pada saat pertunjukan spektakuler itu, semua yang hadir di tempat itu takjub dan ada pula yang tercengang-cengang.

Uniknya, upacara ritual ini menunjukkan adanya pencampuran budaya antara Tionghoa dan Bugis. Percampuran budaya ini berlangsung saat leluhur Baba Sanro, keturunan Tionghoa yang tiba di tanah Luwu, Sulsel dan kemudian menikah dengan keluarga ke-datuan (kerajaan) Luwu, salah satu kerajaan besar di tanah Bugis.

Akulturasi budaya semacam ini masih terus dipertahankan baik oleh komunitas bissu maupun Baba Sanro. Dua komunitas yang saling mewarnai, saling memperkaya tanpa ada benturan yang berujung pada kekerasan. Tentunya fenomena ini dapat menjadi contoh bagi komunitas-komunitas lainnya di tanah air.
Sumber: Surat Kabar Sore Harian Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar