FILOLOGI NUSANTARA
Kawasan Nusantara terbagi dalam banyak kelompok etnis, yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa meninggalkan sifat kekhasan kebudayaan Nusantara. Kekayaan Nusantara akan naskah-naskah lama dibuktikan dengan jumlah koleksinya yang dewasa ini terdapat di berbagai pusat studi, perpustakaan, dan di masyarakat nusantara pada umumnya.
3/02/2013
1/05/2013
BISSU
“Bissu”, Komunitas Penjaga Tradisi Bugis Kuno
Dalam
berbagai perhelatan adat, budaya, maupun tradisi Bugis kuno di Sulawesi Selatan
(Sulsel), tak lengkap rasanya jika tidak menghadirkan “bissu” yang memiliki
komunitas tersendiri. Pasalnya, bissu atau pendeta Bugis kuno ini akan berperan
dalam menentukan hari baik dan hari buruk, mengatur prosesi adat, menyiapkan
peralatan upacara, dan berbagai ritual lainnya yang lekat dengan masyarakat.
Komunitas bissu yang masih bertahan hingga saat ini, dalam lektur lama (epos La Galigo), dianggap sebagai manusia suci, keturunan para dewa dan dalam stuktur kerajaan di Sulsel, bissu merupakan penasihat spiritual dan rohani para raja.
Begitu pentingnya peranan dan figur
bissu bagi masyarakat ini, sehingga dalam upacara ritual yang mereka laksanakan
bissu dijadikan sebagai pemimpinnya. Di antara bentuk upacara yang kini masih
tersisa adalah Temmu Taung, Mapeca Sure dan Masongka Bala; yakni upacara
memohon keselamatan bagi seluruh warga dan para pemimpin kerajaan.
Ketiga upacara ritual yang sangat
penting dan dihormati sejak zaman Bugis kuno hingga kini itu, sempat mengalami
tekanan dan cercaan setelah Islam berkembang di Sulsel, karena dinilai sebagai
bentuk keyakinan yang menjurus pada bid’ah. Namun, dengan filosofi yang dianut
para bissu dengan pimpinannya saat ini yakni Zaidi Puang Matoa yang merupakan
generasi kelima, mereka tetap berupaya mempertahankan dan melestarikan
komunitasnya untuk menjaga tradisi Bugis kuno yang masih tersisa.
“Para bissu sudah ada seiring dengan
keberadaan kerajaan-kerajaan Bugis kono, kami hanya melanjutkan tradisi
turun-temurun ini,” ungkap Zaidi dengan suara yang lembut.
Dalam persepsi masyarakat, jelas Zaidi, terkadang ada yang menyamakan komunitas bissu dengan waria. Padahal, sesungguhnya para bissu dari segi penampilan memang mirip waria (agak gemulai), namun tidak menyukai dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan sejenisnya.
“Kami pun tetap berpakaian layaknya laki-laki, namun kami tidak menikah untuk menjaga kesucian bissu,” kata Zaidi, pria kelahiran tahun 1958 yang kini memimpin komunitas bissu yang jumlah anggotanya tinggal 20 orang itu.
Dalam persepsi masyarakat, jelas Zaidi, terkadang ada yang menyamakan komunitas bissu dengan waria. Padahal, sesungguhnya para bissu dari segi penampilan memang mirip waria (agak gemulai), namun tidak menyukai dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan sejenisnya.
“Kami pun tetap berpakaian layaknya laki-laki, namun kami tidak menikah untuk menjaga kesucian bissu,” kata Zaidi, pria kelahiran tahun 1958 yang kini memimpin komunitas bissu yang jumlah anggotanya tinggal 20 orang itu.
Untuk menjadi bissu, selain harus
melalui proses keputusan komunitas, juga harus menjalani prosesi pelantikan
yang cukup panjang. Seorang calon bissu setidaknya harus tujuh hari menjalani
prosesi ritual, termasuk dikafani seperti mayat serta melepaskan semua unsur
pengaruh duniawinya.
Setelah dinobatkan menjadi bissu
oleh pimpinan bissu, secara otomatis bissu baru tersebut sudah dapat memimpin
acara ritual dan tradisi Bugis. Bahkan, memiliki kekuatan “supranatural” pada
saat pagelaran tradisi budaya, misalnya menari tarian “bissu” yang dikenal
dengan nama “mabbissu” atau “maggiri”. Pada saat “maggiri” ini biasanya tampil
enam bissu dipimpin Zaidi Puang Matoa, dengan menggunakan keris terhunus
menusuk leher dan dadanya, namun tidak terluka sedikit pun.
Campuran Budaya Tionghoa
Dari sekian tradisi budaya yang biasanya dipimpin bissu Zaidi, acara “mattemu taung” atau upacara penghormatan pada leluhur digelar bersama Liem Keng Boe alias Haji Ismail Daeng Nai yang juga dikenal sebagai Baba Sanro.
Dari sekian tradisi budaya yang biasanya dipimpin bissu Zaidi, acara “mattemu taung” atau upacara penghormatan pada leluhur digelar bersama Liem Keng Boe alias Haji Ismail Daeng Nai yang juga dikenal sebagai Baba Sanro.
Upacara yang selalu menghadirkan
bissu pada setiap bulan syafar dalam penanggalan hijriyah ini, sejak 40 tahun
yang lalu dilakukan oleh keluarga besar Baba Sanro yang merupakan keturunan
Tionghoa. Kolaborasi tradisi komunitas China dan Bugis telah tertuang pada epos
La Galigo, karya sastra Bugis Kuno yang dikenal terpanjang di dunia,
mengalahkan karya sastra Mahabaratha di India.
Pada saat upacara berlangsung, baba
sanro turut berdandan bersama beberapa bissu utama dari Segeri – perkampungan
bissu – termasuk bissu Zaidi yang disebut sebagai puang matoa bissu atau
pimpinan bissu dari Segeri.
Seiring tabuhan gendang yang
berirama khas, pelan-pelan para bissu bersama baba sanro berjalan ke depan
ruangan tempat “arrajangnge” yang telah disiapkan. “Arrajangnge” ini adalah
benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tempat ruh leluhur beristirahat.
Di depan “arrajangnge” itu telah
disiapkan berbagai sesaji dari kue tradisional, buah, ayam hingga kepala kerbau
dan sapi yang merupakan persembahan bagi leluhur.
Saat upacara dimulai, puluhan kerabat Baba Sanro sudah datang untuk menyaksikan upacara. Sebagian lainnya adalah masyarakat setempat yang datang setiap tahunnya sebagai bagian dari acara keluarga besar Baba Sanro, sekaligus datang untuk mengharap berkah.
Saat upacara dimulai, puluhan kerabat Baba Sanro sudah datang untuk menyaksikan upacara. Sebagian lainnya adalah masyarakat setempat yang datang setiap tahunnya sebagai bagian dari acara keluarga besar Baba Sanro, sekaligus datang untuk mengharap berkah.
Setelah membakar dupa dan membaca
doa dengan khusyuk, Baba Sanro bersama para bissu mulai menarikan tarian para
bissu atau disebut “mabbissu” dengan berputar di depan sesaji yang ditudungi
kain khusus.
Irama gendang kian cepat dan satu
persatu bissu dan Baba Sanro mulai menghunus keris keramat yang semula
terpasang di pinggang, kemudian menusukkannya ke tangan, leher dan perut mereka
tanpa terluka sedikit pun. Prosesi menusukkan senjata tajam yang selalu
dilakukan bissu dalam upacara ini disebut “maggiri”. Pada saat pertunjukan
spektakuler itu, semua yang hadir di tempat itu takjub dan ada pula yang
tercengang-cengang.
Uniknya, upacara ritual ini
menunjukkan adanya pencampuran budaya antara Tionghoa dan Bugis. Percampuran
budaya ini berlangsung saat leluhur Baba Sanro, keturunan Tionghoa yang tiba di
tanah Luwu, Sulsel dan kemudian menikah dengan keluarga ke-datuan (kerajaan)
Luwu, salah satu kerajaan besar di tanah Bugis.
Akulturasi budaya semacam ini masih
terus dipertahankan baik oleh komunitas bissu maupun Baba Sanro. Dua komunitas
yang saling mewarnai, saling memperkaya tanpa ada benturan yang berujung pada
kekerasan. Tentunya fenomena ini dapat menjadi contoh bagi komunitas-komunitas
lainnya di tanah air.
Sumber: Surat Kabar Sore Harian
Sinar Harapan
12/28/2012
khasanah pernaskahan Nusantara khususnya di Sulawesi Selatan
Silsilah raja-raja Soppeng. Ditulis di atas daun lontar, diletakkan di alat pemutar. Membacanya dengan cara memutar "rol lontar" di bilah-bilah kayu itu |
Do’a Khatawul Qur’an
Naskah
yang ditulis di atas kertas pabrik ini milik I Masse Batu Lappa kabupaten Barru
abad ke-20 ini berisi: do’a yang dimulai dengan shalawat kemudian surah
al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas. Selain beberapa potong ayat, juga do’a
pahala bacaan kepada orangtua, orang muslim, sahabat-sahabat dan para wali.
Sesudah dzikir disebut Muhammad, Jibril, Mikail, Israil, dan nabi Khaidir untuk
mencarikan rezeki.
Lontarak Sakkerupa
Do’a-Do’a
Naskah
yang ditulis dalam bahasa Bugis dan Arab milik La Lanni ini ditulis di atas
kertas cap air gajah dan tulisan Cina, berasal dari abad ke-18. Sayangnya
naskah ini tak lengkap. Berisi: ilmu tasawuf, tarekat Kasabandiah
(Naqsabandiah), obat-obatan (jampi) dan baca-baca untuk keberanian, dan
do’a-do’a.
Cenningrara
Naskah
berbahasa Bugis ini ditulis di atas kertas cap Air Britania pada abad ke-18.
Milik dari Anthon Andi Pangerang di Palopo. Isi naskah: “pesan” lewat angin,
pemanis ketika mandi dan bersanggul, tata cara agar suami tidak tertarik kepada
wanita lain. Beberapa bacaan untuk wanita sebelum berhubungan dengan suami,
penyembuhan sihir.
Pitika
Isi
naskah yang ditulis dalam bahasa Makassar dan Arab ini tak lengkap, berisi
segala macam azimat. Milik dari Daeng Paja, di Takalar. Berasal dari abad
ke-18.
Tata Cara Mendirikan
Rumah
Naskah
yang ditulis di atas kertas cap Air Gajah dan pohon kelapa ini berasal dari
abad ke-18. Ditulis dalam bahasa Makassar dan Arab. Berisi nama kayu sesuai
pertumbuhannya.
Bunga Rampai
Keagamaan
Naskah
yang ditulis di atas kertas papirus ini milik seorang raja di Sulawesi Tengah
pada abad ke-17. Berisi bacaan dalam shalat, tarekat Nur Muhammad, tauhid, dan
keadaan dalam kubur.
Maulid Nabi Muhammad
SAW
Naskah
yang berasal dari abad ke-17 ini milik seseorang (saya tak bisa membaca dengan
jelas pemiliknya, dari foto yang diambil), berbahasa Arab dan Melayu. Berisi
tentang nabi Muhammad SAW.
Beberapa naskah lain
yang dipajang berupa surat-surat. Seperti :
“Daftar
banjaknja perahoe jang berlajar keloear Selebes Selatan”.
“Perahoe-perahoe
yang di beslag” (1948)
Surat
dari seorang perempuan yang telah menerima uang dari tuan Petor di Selayar
(tahun 1910, ditulis dalam aksara Lontarak)
Surat
permohonan pembebasan seorang laki-laki dari Sulawesi yang dijadikan budak.
Daftar
nama warga keturunan Tionghoa yang masuk Akademi Militer (1910 – 1941)
Proses
verbal pidana seorang laki-laki keturunan Tionghoa di Sinjai (1938)
☼☼☼
Naskah kuno |
Surat-surat lawas |
Oleh : Mugniar.Marakarma.
http://mugniarm.blogspot.com Syair indah yang dilontarkan oleh Batara Lattuq (Yakni Ayahanda Sawerigading) kepada We Datu Sengngeng (Yakni Ibunda Sawerigading)
Bahasa
Bugis
Kuruq sumangeq anriq ponratu
Le muaseng gi belo jajareng maroeqe
Palaguna le goarie
Tekkuturusi rajung-rajummu
Pesewalimmu mutia simpeng masagalae
Ala rini le upatudang mulu jajareng ri laimmu
Tenna io mi anriq ponratu
Mulu jajareng ri sao denra manurungnge
Sining anukku, anummu maneng anri
Mugiling paleppangiaq rupa mabboja
Kuruq sumangeq anriq ponratu
Le muaseng gi belo jajareng maroeqe
Palaguna le goarie
Tekkuturusi rajung-rajummu
Pesewalimmu mutia simpeng masagalae
Ala rini le upatudang mulu jajareng ri laimmu
Tenna io mi anriq ponratu
Mulu jajareng ri sao denra manurungnge
Sining anukku, anummu maneng anri
Mugiling paleppangiaq rupa mabboja
Terjemahannya
Kur semangat adinda
Tahukah engkau duhai hiasan balairungku yang ramai
Bulan purnama penghias bilikku
Kupenuhi seluruh keinginannmu
Tak ada lain yang duduk di balairungku selain engkau
Engkaulah satu-satunya adinda
Permaisuriku di istana agung manurung
Segala milikku, milikmu jua adinda
Berpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
Kur semangat adinda
Tahukah engkau duhai hiasan balairungku yang ramai
Bulan purnama penghias bilikku
Kupenuhi seluruh keinginannmu
Tak ada lain yang duduk di balairungku selain engkau
Engkaulah satu-satunya adinda
Permaisuriku di istana agung manurung
Segala milikku, milikmu jua adinda
Berpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
Label:
www.rappang.com
Lokasi:
Bandung, Indonesia
FILOLOGI
Kearifan
lokal yang mengakar dalam suatu kebudayaan dapat dilacak kembali pada tinggalan
budaya masa lalu kebudayaan tersebut. Aneka bentuk tinggalan budaya masa lalu
tersebut salah satunya berbentuk naskah dan ilmu pengetahuan memungkinkan
adanya kajian ilmiah terhadap naskah tersebut yakni dengan menggunakan ilmu
filologi.
Menurut
Baried, dkk (1994:2) kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang
berupa gabungan kata dari philos yang berarti teman dan logos yang berati
pembicaraan atau ilmu. Dalam perkembangannya, philologia kemudian diartikan
sebagai senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi seperti karya-karya
sastra. Kata filologi, sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut keahlian
yang diperlukan dalam mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari beratus
tahun yang lampau, dicetuskan pertama kali pada sekitar pada abad ke-3 SM oleh
Eratosthenes, salah seorang ahli dari Iskandariyah.
Filologi di Indonesia, awalnya
dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, bertujuan untuk mengungkap
informasi masa lampau yang terkandung dalam bahan tertulis peninggalan masa
lalu dengan harapan adanya nilai-nilai atau hasil budaya masa lampau yang
diperlukan dalam kehidupan masa kini (Baried dkk, 1994: 9).
Seperti halnya bidang ilmu
pengetahuan yang lain, filologi pun memiliki sasaran atau obyek kerja.
Manyambeang (1989: 18) mengatakan bahwa obyek filologi adalah naskah atau teks
dengan menggunakan media bahasa sebagai sarana penelitian. Lebih lanjut lagi
dikatakan bahwa, naskah dan teks memiliki pengertian yang berbeda. Naskah
(‘handschrijft’ Belanda, ‘manuscript’ Inggris) merupakan semua bahan tulisan
sebagai hasil kebudayaan masa lalu dan dengan demikian bersifat konkrit dan
dapat dipegang atau disentuh, sedangkan teks adalah isi naskah itu sendiri.
Kajian ilmu yang mendalami segala sesuatu tentang teks, seperti cara
penurunan/penyalinan teks, pemahaman atau penafsiran serta penambahan atau
pengurangan kata atau kalimatnya disebut tekstologi; dan pembahasan seputar
seluk beluk naskah, misalnya bahan, alat tulis, umur, tempat penulisan maupun
perkiraan penulis naskah, menggunakan kajian ilmu kodikologi (1989: 19-20).
Walau
sama-sama merupakan hasil tulisan tangan, terdapat perbedaan yang signifikan
antara prasasti dan naskah. Baried, dkk (1994: 55-56) menunjukkan perbedaannya
sebagai berikut:
1. Naskah umumnya berupa buku atau
menggunakan bahan tulisan tangan dari kulit kayu, dluwang, dll. Prasasti
menggunakan media alas dari batu, logam, marmer, dll.
2. Naskah pada umumnya panjang karena
memuat cerita yang lengkap sedang prasasti hanya berisi hal-hal penting saja,
misalnya pemberitahuan resmi pendirian sebuah bangunan suci.
3. Naskah biasanya bersifat anonim dan
tidak berangka tahun sementara dalam prasasti sering tercantum nama penulis dan
tahun pembuatannya.
4. Naskah mengalami proses penyalinan
dan karenanya berjumlah banyak. Di lain pihak, prasasti tidak demikian.
5. Naskah yang paling tua adalah naskah
Tjandra-karana yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (kira-kira abad ke-8) sedangkan
prasasti yang paling tua diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-4 (prasasti
Kutai).
REFERENSI
Baried,
Siti Baroroh, dkk, 1994, Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra
UGM.
Langganan:
Postingan (Atom)